MAKALAH
AGRESI
MILITER BELANDA
I DAN II
Disusun
Oleh :
IX
I
Masfi Ammah Adinda A.
Rosiatul Alami
Wieke Septiani Putri
Siti Lum'atul Mawaddah
Umi Hany
Syifa Aenul Qolby
Masfi Ammah Adinda A.
Rosiatul Alami
Wieke Septiani Putri
Siti Lum'atul Mawaddah
Umi Hany
Syifa Aenul Qolby
MADRASAH
TSANAWIYAH NEGERI MODEL
BABAKAN-LEBAKSIU-TEGAL
TAHUN
PELAJARAN 2012-2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, kita dapat menyelesaika tugas ini
dengan baik. Dalam pembuatan tugas ini setidaknya terdapat hal-hal
yang menambah kita untuk memperoleh informasi dan komunikasi yang
semakin berkembang di Era Globalisasi.
Selanjutnya
kami menyadari jika dalam pembuatan Makalah ini banyak berbagai
pihak, yang memberi dukungan dan sambutan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik. Oleh karena itu dalam kesempatan
ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang pertama kepada :
- Bp. M.Zuhron selaku guru mapel IPS pembimbing
- dan teman-teman yang telah ikut membantu kami secara langsung ataupun tidak langsung.
Semoga
pembuatan Makalah ini dapat membantu para siswa dalam
mempelajari mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati ,kepada para pembaca kami mohon dapat
menyampaikan saran dan kritik untuk perbaikan selanjutnya.
Terima
kasih…
BAB I
PENDAHULUAN
Pada
bulan-bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan-perundingan
hingga disepakati suatu
gencatan
senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati
(didekat Cirebon)
dilaksanakan
persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”, yang isinya adalah
sebagai berikut:
1. Pemerintah
belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas
Jawa, Madura, dan
Sumatera.
2.
Pemerintah Indonesia dan Belanda bersama-sama akan
membentuk suatu negara demokrasi
federal
yang berdaulat, yaitu Republik Indonesia Serikat, terdiri dari tiga
negara bagian, yaitu: Republik Indonesia (Jawa dan Sumatera), Negara
Bagian Kalimantan, dan Negara Indonesia Timur (meliputi semua wilayah
Indonesia lainnya, yaitu wilayah-wilayah yang dulu termasuk
dalam Negara Hindia Timur Belanda, terbentang dari Jawa Timur sampai
dengan Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tenggara)
3. Pemerintah
Indonesia dan Belanda akan bekerjasama membentuk suatu Uni
Indonesia-Belanda, terdiri dari Negeri Belanda (meliputi Negeri
Belanda, Suriname, Curacao), dan Republik Indonesia Serikat. Uni itu
akan diketuai oleh Ratu Belanda.
4. Uni
Indonesia-Belanda dan Republik Indonesia Serikat akan dibentuk
sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan Uni tersebut akan menentukan
sendiri badan-badan perwakilannya untuk mengatur masalah-masalah
kepentingan bersama di negara-negara anggota, terutama masalah luar
negeri.
5. Akhirnya
persetujuan itu menjamin bahwa kedua belah pihak akan mengurangi
kekuatan pasukannya masing-masing dari wilayah Indonesia, tetapi
secepatnya dan konsisten dengan menjaga hukum dan ketertiban, serta
menjamin kedaulatan Republik atas semua tuntutan bangsa-bangsa asing
untuk memperoleh ganti rugi dan mengelola hak-hak serta milik mereka
di dalam wilayah-wilayah Republik. (Kahin, George McTurnan
1995:247-248)
Namun
persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua belah
pihak saling tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu
sehingga menimpulkan pertikaian-pertikaian politik yang sengit
mengenai konsesi-konsesi yang telah dibuat. Setelah selesai
perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus
memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa
dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia
Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli
1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang
pada 1 Oktober 1946. Kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar”
di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946, dimana kemudian dibentuk
negara Indonesia Timur. Tindakan Van Mook membenarkan
keragu-raguan pemerintah dan rakyat Indonesia tentang kesetiaan
Belanda dalam melaksanakan persetujuan Linggajati. Perundingan
Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan
pasukan yang lebih banyak dari negerinya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.
1. Pengertian Agresi Militer I dan II
"Operatie
Product (bahasa
Indonesia: Operasi
Produk)
atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer
Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera
terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947
sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian Aksi
Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan
penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang
Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari
hasil Perundingan Linggajati.
Sedangkan Agresi
Militer Belanda II atau Operasi
Gagak adalah
operasi militer Belanda kedua yang terjadi pada 19 Desember 1948
yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia
saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan
beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan
dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang
dipimpin oleh Sjafrudin Prawiranegara.
2.
2. Agresi Militer Belanda I
2.
2. 1. Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I
Agresi
militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda
akibat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan
Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia sebagai
negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk.
Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya,
lepas dari Belanda.
2.
2. 2. Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer I
Adapun
tujuan Belanda mengadakan agresi militer I yaitu sebagai berikut:
§ Tujuan
politik
Mengepung
ibu kota Republik Indonesia
dan menghapus kedaulatan Republik Indonesia.
§ Tujuan
ekonomi
Merebut
pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
§ Tujuan
militer
Menghancurkan
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2.
2. 3. Kronologis Terjadinya Agresi Militer I
Sesudah
penandatanganan Persetujuan Linggarjati, Belanda berusaha keras
memaksakan interpretasi mereka sendiri dan berjalan sendiri
untuk membentuk negara-negara bagian yang akan menjadi bagian dari
negara Indonesia Serikat, sesuai dengan keinginan mereka. Hal
ini diawali dengan konferensi yang diselenggarakannya di Malino,
Sulawesi Selatan, dan kemudian di Denpasar, Bali. Di sana mereka
berhasil membentuk negara boneka Indonesia Timur dengan dibantu oleh
orang-orang yang pro Belanda seperti Sukawati dan Anak Agung Gde
Agung. Anak Agung Gde memang sejak awal sudah memusuhi pemuda-pemuda
pro Republik di daerahnya, serta mengejar-ngejar dan menangkapinya.
Memang
tujuan utama Belanda penandatanganan Persetujuan Linggarjati ialah
menjadikan negara Republik Indonesia yang sudah mendaptkan pengakuan
de facto dan juga de jure oleh beberapa negara, kembali menjadi satu
negara bagian saja seperti juga negara-negara boneka yang
didirikannya, yang akan diikutsertakan dalam pembentukan suatu negara
Indonesia Serikat. Langkah Belanda selanjutnya ialah memajukan
bermacam-macam tuntutan yang pada dasarnya hendak menghilangkan sifat
negara berdaulat Republik dan menjadikannya hanya negara bagian
seperti negara boneka yang diciptakannya di Denpasar. Yang menjadi
sasaran uatamanya ialah menghapus TNI dan perwakilan-perwakilan
Republik di luar negeri, karena keduanya merupakan atribut negara
berdaulat.
Semua
tuntutan Belanda ditolak. Sementara itu keadaan keuangan Belanda
sudah gawat, dan kalau masalah Indonesia tidak cepat diselesaikan
maka besar kemungkinan Belanda akan bangkrut. Agresi militer pertama
dilakukan Belanda berlatar dua pokok di atas, yaitu melenyapkan
Republik Indonesia sebagai negara merdeka dengan menghilangkan semua
atribut kemerdekaannya, dan keadaan keuangan Belanda yang sangat
gawat.
Dalam
serangan Belanda yang pertama itu mereka bermaksud hendak menduduki
Yogyakarta yang telah menjadi ibu kota perjuangan Republik Indonesia,
dan menduduki daerah-daerah yang penting bagi perekonomian Belanda,
yaitu daerah-daerah perkebunan, ladang minyak dan batu baik di
Sumatera maupun di Jawa. Usaha ini untuk sebagian berhasil; mereka
berhasil menduduki daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di
Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari hasil
penjualan produksi perkebunan-perkebunan yang masih terkumpul, mereka
mengharapkan mendapatkan uang sejumlah US$ 300 juta, sedangkan biaya
agresi militer diperhitungkan akan memakan US$ 200 juta, jadi masih
ada ”untung” US$ 100 juta. Sasaran yang satu lagi, yaitu
menduduki Yogyakarta tidak tercapai, karena pada tanggal 4 Agustus
1947 Dewan Keamanan memerintahkan penghentian tembak menembak.
Selanjutnya PBB membentuk Komisi PBB yang terdiri atas tiga negara:
satu dipilih oleh Indonesia, satu oleh Belanda dan yang satu lagi
dipilih bersama. Komisi Tiga Negara ini terdiri atas Amreika Serikat,
Australia dan Belgia. Sjahrir memilih Australia, dan bukan India,
karena India sudah dianggap oleh dunia sebagai pro Indonesia,
sedangkan Australia adalah negara bangsa kulit putih, yang dianggap
lebih obyektif pendiriannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia.
Perkiraan
Belanda dengan mengadakan agresi militernya yang pertama meleset sama
sekali; karena tanpa diperhitungkan sejak semula, bahwa Dewan
Keamanan PBB akan bertindak atas usul India dan Australia. India dan
Australia sangat aktif mendukung Republik di dalam PBB, di mana Uni
Soviet juga memberika dukungannta. Akan tetapi, peranan yang paling
penting akhirnya dimainkan oleh Amerika Serikat. Mereka yang
menentukan kebijakan Belanda, bahkan yang lebih progresif di antara
mereka, merasa yakin bahwa sejarah dan pikiran sehat memberi mereka
hak untuk menetukan perkembangan Indonesia, tetapi hak ini hanya
dapat dijalankan dengan menghancurkan Republik
terdahulu. Sekutu-sekutu utama negeri Belanda terutama
Inggris, Australia, dan Amerika (negara yang paling diandalkan
Belanda untuk memberi bantuan pembangunan kembali di masa sesudah
perang) tidak mengakui hak semacam itu kecuali jika rakyat Indonesia
mengakuinya, yang jelas tidak demikian apabila pihak Belanda harus
menyandarkan diri pada penaklukan militer. Mereka mulai mendesak
negeri Belanda supaya mengambil sikap yang tidak begitu kaku, dan PBB
menjadi forum umum untuk memeriksa tindakan-tindakan Belanda.
Untuk
pertama kali sejak PBB didirikan pada tahun 1945, badan ini mengambil
tindakan mengentikan penyerangan militer di dunia dan memaksa agresor
agar menghentikan serangannya. Belanda yang menginginkan supaya
masalah Indonesia dianggap sebagai suatu persoalan dalam negeri
antara Belanda dan jajahannya, telah gagal, dan masalah
Indonesia-Belanda menjadi menjadi masalah internasional. Kedudukan
Republik Indonesia menjadi sejajar dengan kedudukan negara Belanda
dalam pandangan dunia umumnya.
2.
2. 4. Dampak Agresi Militer I bagi Bangsa Indonesia.
Dampak
yang diperoleh bangsa Indonesia akibat adanya agresi militer I oleh
pihak Belanda yaitu sempat dikuasainya beberapa daerah-daerah
perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat
dan Jawa Timur. Meski PBB telah turut membantu mengatasi agresi
militer yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia dengan diadakan
penghentian tembak menembak, tidak berarti bahwa tindakan militer
Belanda langsung terhenti. Mereka terus-menerus mengadakan gerakan
pembersihan untuk mengamankan dareah-dareah yang telah didudukinya.
Dalam gerakan pembersihan ini sering pula terjadi tindakan kejam oleh
pasukan Belanda, terutama di dareah-daerah yang sudah mereka duduki
namun tidak dapat dikuasai, umpamanya dareah sekitar Krawang-Bekasi
Di
sekitar Bekasi beroperasi pasukan kita yang dipimpin oleh Lukas
Kustrayo. Setelah pembentukan BKR ia langsung bergabung, dan pasukan
yang dibentuknya beroperasi di sekitar Bekasi. Setelah Belanda
meyerang pada bulan Juli 1947 Lukas tetap beroperasi di sana dan
tetap menganggu kehadiran Belanda di daerah itu, juga setelah
diadakan pengehentian tembak-menembak. Kegiatan Lukas sangat
menjengkelkan Belanda, sehingga Lukas diberi julukan ”Tijger van
West Jawa” (Harimau Jawa Barat). Belanda terus-menerus berusaha
mengejar Lukas dan pasukannya, tetapi selalu tidak berhasil. Setelah
mereka mengetahui bahwa Lukas bermarkas di desa Rawagede, mereka
menyerbu desa itu pada tanggal 9 Desember 1947, dan lagi-lagi Lukas
dan pasukannya lolos. dalam kemarahan dan frustasi karena usaha
mereka tidak berhasil, pasukan Belanda menembaki rakyat desa Rawagede
secara membabi buta dan membunuh 491 orang dewasa dan anak-anak.
Kekejaman Belanda ini tidak pernah kita ungkapkan ke dunia luar,
karena pada waktu itu memang kita tidak mempunyai aparat untuk
melakukanya.
Kekejaman
Belanda lain yang dapat disebut adalah pembantaian rakyat Sulawesi
Selatan pada bulan Januari 1948 oleh pasukan Kapten Wasterling, yang
juga tidak pernah dihukum. Juga peristiwa kapten api maut di Jawa
Timur, ketika prajurit-prajurit Republik Indonesia yang tertawan oleh
Belanda diamsukkan dalam gerbong kereta api yang kemudian ditutup
rapat tanpa ventilasi, sehingga semua tawanan mati lemas karena
kepanasan dan kehabisan udara.
2.
2. 5. Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda
a. Keampuhan
Strategi Diplomasi
Harus
daikui, TNI mengalami pukulan berat berat saat agresi militer Belanda
I itu. Akan tetapi, kekalahan itu tidak menyurutkan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Ketika
itulah perjuangan diplomasi memegang peranan penting. Tanpa kenal
lelah, para tokoh Indonesia di luar negeri membela kepentingan
Indonesia. Mereka berusaha menunjukkan kepada dunia internasional
bahwa Indonesia layak dan mampu merdeka dan berdaulat.
Keberhasilan
perjuangan diplomasi terbukti dari munculnya reaksi keras terhadap
tindakan agresi militer Belanda. India
dan Australia mengajukan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB.Amerika
Serikat menyerukan agar Indonesia dan Belanda menghentikan permusuhan
Polandia dan Uni Soviet mendesak agar pasukan Belanda ditarik dari
wilayah RI. Di tengah reaksi dunia internasional, pada tanggal 3
Agustus 1947, Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk
menghentikan tembak-menembak.
b. Perundingan
Renville
Pada
tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk Commite
of Good Offices (Komite
Jasa-jasa Baik). Komite
itu kemudian terkenal dengan sebutan Komisi
Tiga Negara(KTN).
Anggota KTN terdiri atas wakil Australia, Richard
Kiby,
wakil Belgia, Paul
van Zeeland,
dan wakil Amerika Serikat, Frank
Graham.
Terpilihnya Australia dalam KTN merupakan permintaan pihak Indonesia,
sedangkan terpilihnya Belgia merupakan permintaan pihak Belanda.
Kemudian Australia dan Belgia menentukan anggota KTN ketiga, yaitu
Amerika Serikat.
Tugas
pokok KTN adalah mecari penyelesaian damai terhadap masalah
perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Untuk itu, KTN menawarkan
perundingan kepada kedua negara. Amerika Serikat mengusulkan tempat
pelaksanaan perundingan yang di luar wilayah pendudukan Belanda
maupun wilayah Republik Indonesia. Tempat yang dimaksud adalah sebuah
kapal AS bernama Renville, yang sedang berlabuh di Tanjung Priok.
Perundingan itu terkenal dengan sebutanPerundingan
Renville.
Dalam
perundingan itu, delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin,
sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Abdullah Wijoyoatmojo.
Perundingan berlangsung alot karena baik Indonesia maupun Belanda
cenderung berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Akhirnya,
pada tanggal 17 Januari 1948, hasil Perundingan Renville disepakati
dan ditandatangani.
Hasil
Perundingan Renville
· Penghentian
tembak-menembak.
· Daerah-daerah
di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
· Belanda
bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang
didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
· Dalam
Uni Indonesia-Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan
Kerajaan Belanda.
Akibat
Perundingan Renville, wilayah Indonesia yang diakui menjadi semakin
sempit. Itulah sebabnya, hasil Perundingan Renville mengundang reaksi
keras dari kalangan partai politik, hasil perundingan itu
memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi. Bagi TNI, hasil
prundingan itu mengakibatkan harus ditinggalkannya sejumalh wilayah
pertahanan yang telah susah payah dibangun. Ketidakpuasan yang
semakin memuncak terhadap hasil Perundingan Renville mengakibatkan
Kabinet Amir Starifuddin jatuh.
2.
3. Agresi Militer II
2.
3. 1. Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda II
Seperti
kejadian sebelumnya dalam Perundingan Linggarjati, pelaksanaan hasil
Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya
jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena
tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia
melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas
mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya
mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin
memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu
sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati
hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada
tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr.
Beel mengumumkan
bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.
Dini hari tanggal 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda
membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah
bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi
militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan
udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta, ibu kota RI ketika itu, dapat
dikuasai.
2.
3. 2. Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer II
Adapun
tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer yang kedua ialah ingin
menghancurkan kedaulatan Indonesia dan mengusai kembali wilayah
Indonesia dengan melakukan serangan militer terhadap beberapa daerah
penting di Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia pada saat itu. Pihak
Belanda sengaja membuat kondisi pusat wilayah Indonesia tidak aman
sehingga akhirnya diharapkan dengan kondisi seperti itu bangsa
Indonesia menyerah dan bersedia menuruti ultimatum yang diajukan oleh
pihak Belanda. Selain itu bangsa Indonesia juga ingin menunjukkan
kepada dunia bahwa RI dan TNI-nya secara de facto tidak ada lagi.
2.
3. 3. Kronologis Terjadinya Agresi Militer II
Pelaksanaan
hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar
yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya
kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta
(wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas mempertahankan
kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara
menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak
Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama
berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil
Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal
18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr.
Beel mengumumkan
bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.
Sementara itu keadaan dalam negeri sudah sangat tegang berhubung
dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan
sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta.
Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Muso,
yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari
Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan ia
yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi
terhadap kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin
Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan pembentukan
pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September 1948.
Pemberontakan ini segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda hendak
mempergunakan pemberontakan PKI itu sebagai alasan yang sangat baik
untuk menyerang Republik dengan dalih membantu Republik melawan
komunisme.
Sebelum
pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi
terus-menerus melawan PKI, Belanda menyerang lagi. Dini hari tanggal
19 Desember, pesawat terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang
Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta.
Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda II. Pemboman
dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat,
Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.
Dalam
suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan
menghasilkan keputusan darurat berikut.
§ Melalui
radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada Syafruddin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di
Sumatera.
§ Presiden
dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko
ditangkap Belanda, agar dekat dengan KTN (yang sekarang berada di
Kaliurang).
§ Pimpinan
TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya dengan
membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatera.
Setelah
menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden, dan sejumlah
pejabat. Soekarno diasingkan ke Prapat, Hatta ke Bangka, tetapi
kemudian Soekarno dipindahkan ke Bangka. Sementara itu, Jenderal
Soedirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar
kota.
2.
3. 4. Dampak Agresi Militer Belanda II bagi Bangsa Indonesia
Adanya
Agresi Militer kedua yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia yaitu
mengakibatkan dihancurkannya beberapa bangunan penting di Yogyakarta,
bahkan Yogyakarta yang pada saat itu sebagai ibu kota Indonesia juga
mampu dikuasai oleh Belanda. Selain
itu presiden dan wakil presiden beserta sejumalh pejabat pemerintah
Indonesia berhasil ditawan kemudian diasingkan oleh pihak Belanda.
2.
3. 5. Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda II
a. Keampuhan
Strategi Diplomasi
Dengan
melancarkan agresi militernya yang kedua, Belanda ingin menunjukkan
kepada dunia bahwa RI beserta TNI-nya secara de facto tidak ada lagi.
Tujuan Belanda itu dapat digagalkan oleh perjuangan diplomasi. Para
pejuang diplomasi antara lain Palar, Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo
yang berkeliling di luar negeri. Tindakan yang dilakukan dalam
perjuangan diplomasi antara lain sebagai berikut.
§ Menunjukkan
pada dunia internasional bahwa agresi militer Belanda merupakan
bentuk tindakan melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan
Renville).
§ Meyakinkan
dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap, mentaati hasil
Perundingan Renville dan penghargaan terhadap KTN.
§ Membuktikan
bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih berlangsungnya
pemerintahan melalui PDRI dan keberhasilan TNI menguasau Yogyakarta
selama 6 jam (Serangan Oemoem 1 Maret).
Kerja
keras perjuangan diplomasi mampu mengundang simapti internasional
terhadap Indonesia. Amerika
Serikat mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah
RI (dengan ancaman menghentikan bantuannya). Dewan Keamanan PBB
mendesak Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan
para pemimpin Indonesia. Desakan yang gencar dari dunia internasional
akhirnya dapat membuat Belanda mengakhiri militernya kedua.
b. Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia
Sebelum
pasukan Belanda memasuki istana kepresidenan, Presiden Soekarno
mengintruksikan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara
(yang kebetulan berada di Sumatera) untuk membentuk pemerintahan
darurat, jika pemerintah RI Yogyakarta tidak dapat berfungsi lagi.
Sesuai dengan instruksi itu, Syafruddin Prawiranegara membentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia. PDRI berkedudukan di
Bukittinggi, Sumatera Barat.
Kabinet
PDRI
§ Ketua
(perdana menteri) merangkap menteri pertahanan dan penerangan:
Syafruddin Prawiranegara.
§ Menteri
luar negeri: A. A. Maramis
§ Menteri
pendidikan dan kebudayaan merangkap menteri dalam negeri dan agam:
Teuku Moh. Hasan.
§ Menteri
keuangan merangkap menteri kehakiman: Lukman Hakim.
§ Menteri
sosial dan perburuhan, pembangunan, organisasi pemuda dan keamanan:
Sutan Rasyid.
§ Menteri
pekerjaan umum merangkap menteri kesehatan: Ir. Sitompul.
§ Menteri
perhubungan merangkap menteri kemakmuran: Ir. Inderacaya.
Selama
agresi militer II, Belanda terus menerus memprogandakan bahwa
pemerintahan di Indonesia sudah tidak ada lagi. Propaganda dapat
digagalkan oleh PDRI. PDRI berhasil menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa pemerintahan dalam tubuh RI masih berlangsung.
Bahkan, pada tanggal 23 Desember 1948, PDRI mampu memberikan
instruksi lewat radio kepada wakil RI di PBB. Isinya, pihak Indonesia
sekaligus mengundang simapti internasional.
Atas
dasar keberhasilan itu, para pemimpin PDRI sempat kecewa dengan
tindakan para pemimpin RI di Bangka yang mengadakan perundingan
dengan Belanda tanpa sepengetahuan mereka. Mereka juga tidak
menyetujui hasil Perundingan Roem-Roijen yang cenderung melemahkan
wibawa Indonesia. Para pemimpin PDRI yakin bahwa kedudukan Indonesia
telah kuat sehingga mampu lebih banyak kepada Belanda.
Untuk
menyelesaikan perbedaan pandangan, berlangsung pertemuan antara para
pemimpin PDRI dan pemimpin RI yang pernah ditawan di Bangka.
Pertemuan itu berlangsung pada tanggal 13 Juli 1949 di Jakarta. Hasil
pertemuan itu adalah sebagai berikut.
§ PDRI
menyerahkan keputusan mengenai hasil Perundingan Roem Roijen kepada
kabinet, Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan TNI.
§ Pada
hari itu juga, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat secara
resmi kepada Wakil Presiden Hatta.
c. Perundingan
Roem-Roijen
Untuk
menjamin terlaksananya penghentian agresi militer Belanda II, PBB
membentukUnited
Nations Commission for Indonesia (UNCI)
atau Komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan mulai pada pertengahan
April 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem,
sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. van Roijen. Tokoh UNCI
yang berperan dalam perundingan adalah Merle Cohran dari Amerika
Serikat. Perundingan banyak mengalami kemacetan sehingga baru
mencapai kesepakatan pada awal Mei 1949.
Hasil
Perundingan Roem-Roijen
Pernyataan
Indonesia
§ Perintah
kepada TNI untuk menghentikan perang gerilya.
§ Bekerja
sama mengendalikan perdamaian, ketertiban, dan keamanan.
§ Turut
serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag untuk mempercepat
pengakuan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat secara lengkap
tanpa syarat.
Pernyataan
Belanda
§ Menyetujui
pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta.
§ Menjamin
penghentian operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik.
§ Menyetujui
RI sebagai negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat.
§ Berusaha
sungguh-sungguh menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Sejak
bulan Juni 1949, berlangsung persiapan pemulihan pemerintahan RI di
Yogyakarta. Persiapan itu berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak
tanggal 24 sampai 29 Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari kota
Yogyakarta. Setelah itu, TNI memasuki kota Yogyakarta. Pada tanggal 6
Juni 1949, presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya
kembali ke Yogyakarta.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan,
Yunani. 2004. Sejarah
Nasional Indonesia V.
Palembang: FKIP
Universitas
Sriwijaya.
Nasution,
AH. 1976. Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia.
Jilid 9, Dsjarah
-AD,
Bandung: Angkasa.
O.
E. Engelen,
dkk. 1997. Lahirnya
Satu Bangsa dan Negara.
Yogyakarta:
Universitas
Indonesia.
Poesponegoro.
Marwati Dj. 1884. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta:
Balai Pustaka.
Ricklefs,
M. C. 2007. Sejarah
Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gajah Mada
University
Press.
Website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I
0 comments:
Post a Comment