Monday, December 17, 2012

ANALISIS KONDISI DEMOKRASI DI INDONESIA


Artikel

2.1 Indikator keberhasilan demokrasi
Dalam suatu sistem atau kehidupan demokratis, terkadang kita merasa terbebani dengan tuntutan untuk bisa hidup secara demokratis, begitupun negara. Menurut UNESCO (Miriam, 2008, 106) “hampir 80% negara di dunia ini memakai nama demokrasi dalam menjalankan roda kehidupan negaranya. Lantas apa yang menjadi indikator dari keberhasilan kehidupan demokrasi di tiap-tiap negara?, dalam latar belakang, Alamond menjelaskan bahwa ada 11 ciri dari suatu bentuk demokrasi, yang disebut soko guru demokrasi atau pilar-pilar demokrasi, dan itu adalah yang menjadi indikator bagi kita untuk menilai keberhasilan dari suatu negara dalam menjalankan demokrasinya.

Soko Guru Demokrasi atau pilarnya Demokrasi merupakan tiang-tiang untuk membangun suatu tatanan yang demokratis, dimana tiang-tiang atau soko guru demokrasi tersebut akan menopang berdirinya demokrasi. Inilah yang menjadi indikator bagi penilaian sejauh mana demokrasi berhasil ditegakkan. Tidak ada demokrasi jika tiang-tiang atau pilarnya tidak ditegakkan. Menurut Alamund (Sri Wuryan, 2006: 84-85) soko guru dari demokrasi adalah: 
1. Kekuasaan Mayoritas
Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat. Rakyat yang memilih langsung wakilnya dalam pemerintahan. Karena seluruh model demokrasi memakai sistem pemilihan umum yang dalam pelaksanaannya rakyat berhak memilih langsung perwakilannya atau partai dalam pemerintahan, maka pemenang pemilihan umum dapat dikatakan sebagai kekuasaan mayoritas dalam pemerintahan karena telah dipilih oleh suara mayoritas rakyat dalam pemilihan umum. Kekuasaan mayoritas sebagai pemerintahan dan kaum minoritas sebagai pengkritik pemerintah yang dipegang atau di jalankan kaum mayoritas.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa kita baru saja menerapkan atau mengimplementasikan pilar demokrasi ini ke dalam sistem pemerintahan. Jika kita lihat sejarah masa lalu, dimana jarang sekali ada pemilihan umum, dan jika ada pun ada, biasanya mereka bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan kekuasaan itu. 

2. Hak-Hak Minoritas
Jika kita berbicara mengenai hak-hak minoritas dalam sebuah sistem demokrasi, tentunya sangat banyak orang atau pihak yang merasa dirinya terasingkan atau dengan kata lain, merasa kurang mendapat perhatian yang lebih dari pihak yang mendominasi. Akan tetapi, di dalam konteks demokrasi yang hampir secara umum sudah banyak negara-negara di dunia yang menggunakannya sebagai suatu sistem pemerintahan yang menurutnya lebih stabil dalam segala aspek yang ada. Namun, pada kenyataannya secara faktual pihak atau golongan yang lebih sedikit (minoritas) hanya sedikit mengalami suatu pengakuan dan perhatian yan diperoleh dari pihak-pihak yang lebih dominan (lebih besar). Sehingga, golongan minoritas yang kalah hanya memiliki ruang gerak yang terbatas pada hal-hal yang kecil saja. Kemudian, hal tersebut mau tidak mau harus mau untuk mengikuti setiap aturan dan kesepakatan yang telah disepakati oleh golongan mayoritas. Dalam hal ini, Alamund berpendapat bahwa :
“Suatu demokrasi yang dianut dan dijalankan oleh banyak negara yang ada, merupakan suatu cara atau langkah yang diambil oleh negara untuk melindungi hak-hak yang ada. Sehingga, apabila terjadi suatu kekalahan pada salah satu pihak (minoritas), diharapkan dapat menerima dan mau mengikuti setiap aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama”. (Wuryan, 2006: 87)

3. Kedaulatan Rakyat
Pengertian demokrasi yang sederhana berkembang seiring perkembangan politik dan ilmu politik sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Licoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi memiliki arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya karena dalam sistem demokrasi ada jaminan bagi masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberikan pengertian bahwa rakyat dapat menentukan sendiri apa yang jadi kehendaknya, termasuk mempengaruhi kebijakan Negara yang menyangkut kehidupan rakyat. Karena seorang presiden mendapatkan kekuasaanya dari rakyat jadi yang mempunyai kekuasaan tertinggi adalah rakyat maka dari itu rakyatlah yang berdaulat. Presiden hanya merupakan pelaksana dari apa yang telah diputuskan atau dikehemdaki oleh rakyat. Teori kedaulatan rakyat juga diikuti oleh Immanuel Kant yaitu:

“tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada warga negaranya. Dalam pengertian kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka dari itu undang-undang adalah merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatannya”. (Soehino, 2005: 161)

4. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah 
Dalam melakukan segala aktivitasya, negara diharuskan meminta persetujuan terlebih dahulu kepada yang diperintahnya, bisa juga dengan dilibatkannya yang diperintah dalam membuat suatu kebijaksanaan. Seperti contoh dalam membuat Undang-Undang, dilibatkanlah para wakil-wakilnya di legislatif. Ataupun dalam melakukan kegiatan kenegaraan, itu harus mendapatkan persetujuan dari rakyat, atau wakil-wakil rakyat. Artinya, bahwa di dalam berdemokrasi setiap suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah, sebenarnya memang sudah menjadi suatu keharusan yang mesti diambil dan dilaksanakan. Hal ini dilakukan, bertujuan agar antara pemerintah dengan para lembaga-lembaga yang dibentuknya mengalami suatu kesesuaian yang harmonis dalam menjalankan setiap program-program yang dicanangkan.
Dengan kata lain, di dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harus bisa saling berkesinambungan antara satu sama lain. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Finley:
“Tidak ada batas teoritis, dari kekuasaan negara, tidak ada aktivitas, tidak ada lingkungan mengenai prilaku manusia, yang tidak dapat dicampuri oleh negara secara sah, asalkan saja setiap keputusan itu diambil menurut yang semestinya, dengan alasan apapun juga yang dianggap sah oleh majelis” . (Robert: 1972: 22)
Dari maksud kutipan yang kami ambil, bahwa setiap pemerintahan yang berkuasa pasti mempengaruhi dan mencampuri setiap aspek dengan mengikutsertakan atau melibatkan setiap lembaga-lembaganya, dalam menjalankan suatu program yang nantinya akan direalisasikan di masyarakat umum.

5. Jaminan Hak Asasi Manusia
Menurut Maurice Cranston dan R. S. Downie (Carol. 1993: 195) Hak Asasi Manusia adalah hak asasi yang terbatas pada hak sipil dan politik dan tidak mencakup hak ekonomi dan kesejahteraan”. Tetapi Henry Shue dan para teoritis Inggris (Hamid 2000: 20) berpendapat bahwa “apa saja yang dibutuhkan untuk bersubstensi atau untuk mempertahankan hidup adalah hak asasi paling pokok”. Tentu apabila kita melihat dari definisi hak asasi manusia menurut para pakar diatas tersebut, ada suatu hal yang sangat kontradiktif dimana Downie mengatakan bahwa HAM itu hanya hak sipil dan politis saja, sedangkan henry shue dan teoritis Inggris mengatakan bahwa HAM itu mencakup apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan kehidupannya. 
Hak asasi manusia dalam konsep demokrasi, demokrasi sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia karena rakyat sebagai manusia, rakyat juga yang berkuasa, maka dalam pelaksanaannya negara harus menjamin hak-hak asasi/dasar yang dimiliki oleh manusia. Seperti hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk berbicara, hak untuk beragama, hak untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk terhindar dari rasa takut, dan lain-lain.
Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia tentu banyak sekali pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia. Terbukti dari semakin meningkatnya jumlah pelanggaran yang terjadi saat ini, seperti maraknya pembunuhan, korupsi, dan lain-lain. Ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia kurang mengamalkan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

6. Pembatasan pemerintahan secara konstitusionil
Konstitusi atau undang-undang dasar merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Pihak pemerintah menjalankan roda pemerintahan harus berdasarkan konstitusi yang berlaku dalam Negara tersebut. Pemerintah mempunyai batasan-batasan dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagaimana konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi Negara Indonesia mengatur batasan-batasan dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun secara prinsip UUD 1945 menganut demokrasi namun UUD ini tidak membentuk pagar-pagar pengaman yang kuat untuk membatasi kekuasaan agar
demokrasi bisa terbangun. 

7. Nilai- Nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama, dan Mufakat
Dalam melaksanakan konsep demokrasi, manusia diharuskan memiliki nilai-nilai toleransi yang tinggi dalam mengarungi kehidupan yang beranekaragam ini, dan juga harus memiliki nilai-nilai pragmatisme atau selaras dengan kenyataan, mampu bekerjasama dengan baik, dan mencapai sesuatu dengan cara yang mufakat. Sedikit penjelasan yang diutarakan di atas, merupakan hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, serta mufakat, merupakan unsur-unsur yang paling mendasar yang harus dimasukan didalamnya. 

8. Persamaan didepan Hukum
Didalam kehidupan demokrasi, atau yang sering disebut dengan negara demokratis, hukum diciptakan oleh rakyat atau perwakilan dari rakyat agar terjadi ketertiban, dan keamanan dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu hukum harus dipatuhi oleh setiap warganegara. Dalam hal ini, siapapun dia, atas keinginan rakyat agar hidupnya menjadi tertib, aman, nyaman, hukum harus menjadi sesuatu yang paling tinggi dalam masyarakat/warga negara dan tiada perbedaan dalam penegakkan hukum. Dalam kacamata indonesia saat ini, kita masih menemukan banyak sekali perbedaan pelayanan hukum dikehidupan sehari-hari. Seperti contoh “pada kasus pencurian 3 bibit kakao atau coklat yang berujung pada vonis 3 bulan penjara, sedangkan banyak para koruptor seperti Arthalita dan Aulia Pohan, yang di vonis ringan padahal dia mencuri uang rakyat bermilyar-milyar”. (okezone.com) 

Di Indonesia, uang memang masih sangat vokal untuk menyuarakan keputusan ataupun sesuatu. Banyak sekali contoh yang tidak mengenakkan terkait penegakkan hukum di Indonesia. Terlebih yang sedang gencar-gencarnya dibicarakan sekarang yaitu markus yang sedang diburu oleh polisi, yang memang sangat menyengsarakan dan memalukan proses penegakkan hukum di Indonesia.

9. Proses Hukum yang Wajar
Dalam kehidupan yang demokratis, proses hukum haruslah sewajar dan menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi. Maksudnya dalam penyelidikan dan penyidikan sampai dengan selesai suatu perkara, si tersangka harus diperlakukan secara manusiawi, berlandaskan kepada kemanusiaan. Seperti adanya asas-asas, contoh ada asas praduga tak bersalah, dan lain-lain. Dalam proses hukum juga tidak boleh membeda-bedakan background seseorang, apakah dia tukang becak atau presiden tetapi ketika dalam proses hukum, status dia adalah seorang tersangka/terdakwa.
Banyak sekali catatan buruk negeri kita terkait dengan cara polisi memecahkan suatu kasus. Seperti contoh banyak sekali kekerasan dalam penyelidikan yang membuat si tersangka merasa tidak tahan dengan siksaan yang diberikan oleh oknum polisi tersebut. Tentu ini menjadi catatan buruk bagi bangsa Indonesia ini dalam hal penerapan proses hukum yang wajar dan demokratis, sehingga akan mencoreng martabat para penegak hukum.
10. Pemilihan yang Bebas dan Jujur
Pemilihan umum adalah salah satu tiang dalam mencapai suatu pemerintahan rakyat atau demokrasi.
Apabila dalam pelaksanaannya terdapat kecurangan-kecurangan, tentu itu akan berdampak negatif terhadap jalannya demokrasi tersebut. Seperti sabotase suara, dan lain-lain. Pentingnya menjaga agar pemilihan umum itu berjalan dengan bebas dan jujur dalam artian tidak ada intervensi dari pihak partai untuk memaksa seseorang yang akan memilih, karena ketika pemilihan sudah tidak independen, maka pemilihan tersebut sudah sangat kisruh dan tidak akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
11. Pluralisme Sosial, Ekonomi, dan Politik
Pluralisme berasal dari kata plural, yang artinya beragam/banyak. Dalam kehidupan demokrasi, berlandaskan pada hak asasi manusia, diwajarkan masyarakatnya sangat beranekaragam, baik itu dalam sosial budaya, ekonomi dan politik. Maka dari itu tidak boleh ada diskriminasi baik itu dalam pemerintahan, maupun dalam kehidupan bermasyarakat terhadap keberagaman tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, nilai-nilai pluralisme ini sudah bisa dirasakan dan masyarakat pun sudah mengerti dan toleran terhadap perbedaan yang ada.
Terbukti dahulu pada zaman sukarno, dimana para etnis china dilarang hidup di bumi pertiwi ini, karena adanya PP no 23 tahun 1964 mengenai larangan etnis China yang bertempat tinggal di Indonesia (www.kapanlagi.co.id). Padahal mereka juga adalah manusia yang mempunyai hak hidup yang sama. Tetapi pada masa Gusdur, PP tersebut di cabut atau tidak diberlakukan kembali, untuk menghormati hak asasi manusia.

2.2 Penegakkan demokrasi di Indonesia
Apabila kita melihat kepada pembahasan diatas, sangat jelas bahwa Indonesia belum secara penuh mengamalkan soko guru yang diatas. Dengan banyaknya pelanggaran dan belum ditegakkannya secara penuh apa yang menjadi pilar demokrasi tersebut, maka belum pantas jika indonesia disebut sebagai negara demokratis, mungkin akan lebih pantas apabila Indonesia disebut sebagai negara yang berjuang menjadi negara yang demokratis.
Memang apabila kita lihat bahwa sampai saat ini belum ada satu negara pun yang benar-benar menerapkan demokrasi dalam kehidupannya, mereka yang kita anggap sudah demokratis pun apabila kita tinjau dan telaah kembali, ternyata hanya sedikit ataupun hanya mendekati negara yang demokratis, sungguh berat memang suatu konsep negara demokrasi itu, menginginkan suatu konsep yang benar-benar baik untuk diterapkan berarti menginginkan suatu yang harus secara benar untuk diperjuangkan.







Nama : Ari Adiansyah
Kelas : XI TKR 3
NO Absen : 06

Artikel

MENGANALISIS PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA SEJAK REVOLUSI, ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI


2.1. Sejarah Demokrasi di Indonesia 
Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut �NKRI�) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi)� berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).
Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal), yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959.
Guna mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara.
Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya� Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.
Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan dengan model-model demokrasi lainnya yang pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang tidak stabil dan� krisis disegala aspeknya.
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini dinamakan saja sebagai �Demokrasi Reformasi�, karena memang belum ada kesepakatan mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini, nampaknya� belum menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-lembaga negara yang utama, yaitu� lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.

2.2. Perkembangan Demokrasi di Indonesia 
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari Pelaksanaan Demokrasi�yang pernah ada di Indonesiai ini. Pelaksanaan demokrasi di indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periodesasi antara lain :
1. Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 – 1950 ).
Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :

• Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
• Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
• Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer
2. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama
a. Masa Demokrasi Liberal 1950 � 1959
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa� demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik.
Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
• Dominannya partai politik
• Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
• Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
• Bubarkan konstituante
• Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
• Pembentukan MPRS dan DPAS
b. Masa Demokrasi Terpimpin 1959 – 1966
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:
1. Dominasi Presiden
2. Terbatasnya peran partai politik
3. Berkembangnya pengaruh PKI
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
1. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan
2. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
3. Jaminan HAM lemah
4. Terjadi sentralisasi kekuasaan
5. Terbatasnya peranan pers
6. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)
Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI yang menjadi tanda akhir dari pemerintahan Orde Lama.
3. Pelaksanaan demokrasi Orde Baru 1966 – 1998
Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
1. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
2. Rekrutmen politik yang tertutup
3. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
4. Pengakuan HAM yang terbatas
5. Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya Orde Baru:
1. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
2. Terjadinya krisis politik
3. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
4. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden.
4. Pelaksanaan Demokrasi Reformasi {1998 � Sekarang).
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
1. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
3. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
4. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
5. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.
2.3 Perbedaan – Perbedaan Demokrasi
1. Berkenaan dengan Kedaulatan Rakyat.
a. Demokrasi Liberal.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dilaksanakan oleh DPR (Parlemen). Dan DPR membentuk serta memberhentikan Pemerintah/Eksekutif (Kabinet).
b. Demokrasi Terpimpin.
Meskipun secara normatif konstitusional ditetapkan bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat (MPR), namun secara praktis justru kedaulatan sepenuhnya berada ditangan Presiden. Dan Presiden membentuk MPR(S) dan DPR-GR berdasarkan Keputusan Presiden
c.Demokrasi Pancasila (Orba).
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dijalankan� oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), baru kemudian MPR membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, DPR, MA, Bepeka dsb.)
d. Demokrasi Reformasi.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya tetap berada ditangan rakyat, dan rakyat secara langsung membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dsb.)
2. Berkenaan dengan Pembagian Kekuasaan
a. Demokrasi Liberal
Kekuasaan DPR (Legislatif) sangat kuat dibandingkan dengan kekuasaan Pemerintah/Kabinet (Eksekutif), bahkan DPR dapat memberhentikan Pemerintah/Kabinet. Sementara Presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara saja (Simbol Negara saja).
b. Demokrasi Terpimpin.
Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat kuat (dominan) dibandingkan dengan kekuasaan DPR (Legislatif), bahkan Presiden dapat membubarkan DPR serta mengangkat anggota-anggota DPR (GR).
Jabatan Presiden ditetapkan untuk masa seumur hidup, sehingga tidak bisa diberhentikan oleh MPRS.
c. Demokrasi Pancasila (Orba)
Meskipun secara normatif konstitusional, ditetapkan :
1).� Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) maupun Kepala Negara lebih kuat dibandingkan kekuasaan DPR (Legislatif).
2).� Kecuali dalam hal Anggaran Belanja Negara, maka kekuasaan Presiden dibidang legislasi (pembentukan undang-undang) lebih kuat dibanding-kan kekuasaan DPR (Legislatif).
Nama : Dedi Irawan
Kelas : XI TKR 3
NO Absen : 11


BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Berawal dari kemenangan Negara-negara Sekutu (Eropah Barat dan Amerika Serikat) terhadap Negara-negara Axis (Jerman, Italia & Jepang) pada Perang Dunia II (1945), dan disusul kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham Komunisme di akhir Abad XX , maka paham Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropah Barat dan Amerika Utara menjadi paham yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa ini.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, untuk di Asia Tenggara Indonesia adalah negara yang paling terbaik menjalankan demokrasinya, mungkin kita bisa merasa bangga dengan keadaan itu.Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya









BAB II
PEMBAHASAN

Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum Indonesia selama ini menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan hukum.
UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter kepemerintahan yang berbeda satu periode dengan periode lainnya.
Di masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam UUD (1945, RIS dan 1950) namun kehidupan sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Buktinya, terjadi pembubaran partai politik yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah (yaitu, Masyumi dan PSI), media massa yang kritis dibredel, penangkapan dan penawanan lawan politik pemerintah tanpa proses hukum termasuk para pendiri partai mantan-mantan Perdana Menteri, mantan-mantan menteri, pemimpin ormas juga ulama. Sehingga hukum didominasi penguasa tunggal di masa itu.
Masa itu kemudian beralih kepada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1966. Awal permulaan masa ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi dan penegakan hukum setelah rakyat bersama mahasiswa dan pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang kesewenang-wenagan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”.
Suasana harmonis itu ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara. Dari sini mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih kemenganan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970 ternyata baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha penggalangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan waktu cukup lama.
Akhirnya telah tercatat dalam sejarah, dari pemilu ke pemilu, kemenagan mutlak diraih oleh GOLKAR sebagai mesin politik pemerintah Orde Baru yang dikawal oleh ABRI. Seluruh Lembaga Negara, baik tinggi maupun tertinggi telah dikuasai, dari Presiden, Panglima Tertinggi sampai ke lurah dan kepala desa, bahkan sampai RT, RW.
Masa sekarang, Era Reformasi yang diawali dengan perubahan mendadak dari sistem politik otoriter ke sistem demokrasi. Saat pemerintahan transisi di bawah presiden BJ Habibie, sendi-sendi demokrasi berubah 180 derajat. Kebebasan membentuk partai politik, Lembaga-lembaga perwakilan bebas berbicara, Pers yang sebelumnya tercekam oleh ancaman pencabutan SIUP mendadak sontak dibebaskan tanpa SIUP. Rakyat bebas menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi.
Akibat kebebasan yang begitu tiba-tiba terjadilah euphoria politik di lingkungan elit politik baru dan lama. Terjadi kebebasan yang hampir-hampir berakibat tindakan-tindakan anarkis di kalangan masyarakat. Demokrasi tanpa persiapan dengan perangkat hukum yang melandasinya. Pengamat ada yang menyebut, di era Reformasi ini, sepertinya yang nampak masyarakat, sedangkan pemerintah tenggelam. Adapun di zaman Orde Baru yang tampak pemerintah sedangkan rakyatnya tenggelam.
Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 sebelum Diamandemen.
Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok sistem pemerintahan. Yaitu :
• Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)
• Sistem Konstitusional.
• Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
• Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.
• Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
• Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.
• Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial.Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto.Ciri dari sistem pemerintahan presidensial ini adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.
Pada saat sistem pemerintahan ini, kekuasaan presiden berdasar UUD 1945 adalah sebagai berikut :

• Pemegang kekuasaan legislative.
• Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.
• Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.
• Panglima tertinggi dalam kemiliteran.
• Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan.
• Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.
• Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
• Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.
• Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan.
• Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.










BAB III
KESIMPULAN

A.Dampak negatif dari sistem presidensil yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia
Dampak negatif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai berikut :

• Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.
• Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.
• Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan mendukung      kelangsungan kekuasaan presiden.
• Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden.
• Menciptakan perilaku KKN.
• Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
• Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.

B.Dampak Positif dari sistem Presidensil yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia

Dampak positif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai berikut :

• Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
• Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
• Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
• Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.


Read More »

0 comments:

Post a Comment

Copyright © *Gubug Kreasi^ 2014

Template By Sayyidan Chiam