Artikel
2.1 Indikator keberhasilan demokrasi
Dalam
suatu sistem atau kehidupan demokratis, terkadang kita merasa
terbebani dengan tuntutan untuk bisa hidup secara demokratis,
begitupun negara. Menurut UNESCO (Miriam, 2008, 106) “hampir 80%
negara di dunia ini memakai nama demokrasi dalam menjalankan roda
kehidupan negaranya. Lantas apa yang menjadi indikator dari
keberhasilan kehidupan demokrasi di tiap-tiap negara?, dalam latar
belakang, Alamond menjelaskan bahwa ada 11 ciri dari suatu bentuk
demokrasi, yang disebut soko guru demokrasi atau pilar-pilar
demokrasi, dan itu adalah yang menjadi indikator bagi kita untuk
menilai keberhasilan dari suatu negara dalam menjalankan
demokrasinya.
Soko
Guru Demokrasi atau pilarnya Demokrasi merupakan tiang-tiang untuk
membangun suatu tatanan yang demokratis, dimana tiang-tiang atau soko
guru demokrasi tersebut akan menopang berdirinya demokrasi. Inilah
yang menjadi indikator bagi penilaian sejauh mana demokrasi berhasil
ditegakkan. Tidak ada demokrasi jika tiang-tiang atau pilarnya tidak
ditegakkan. Menurut Alamund (Sri Wuryan, 2006: 84-85) soko guru dari
demokrasi adalah:
1.
Kekuasaan Mayoritas
Demokrasi
atau pemerintahan perwakilan rakyat. Rakyat yang memilih langsung
wakilnya dalam pemerintahan. Karena seluruh model demokrasi memakai
sistem pemilihan umum yang dalam pelaksanaannya rakyat berhak memilih
langsung perwakilannya atau partai dalam pemerintahan, maka pemenang
pemilihan umum dapat dikatakan sebagai kekuasaan mayoritas dalam
pemerintahan karena telah dipilih oleh suara mayoritas rakyat dalam
pemilihan umum. Kekuasaan mayoritas sebagai pemerintahan dan kaum
minoritas sebagai pengkritik pemerintah yang dipegang atau di
jalankan kaum mayoritas.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa kita baru saja menerapkan atau mengimplementasikan pilar demokrasi ini ke dalam sistem pemerintahan. Jika kita lihat sejarah masa lalu, dimana jarang sekali ada pemilihan umum, dan jika ada pun ada, biasanya mereka bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan kekuasaan itu.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa kita baru saja menerapkan atau mengimplementasikan pilar demokrasi ini ke dalam sistem pemerintahan. Jika kita lihat sejarah masa lalu, dimana jarang sekali ada pemilihan umum, dan jika ada pun ada, biasanya mereka bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan kekuasaan itu.
2. Hak-Hak Minoritas
Jika
kita berbicara mengenai hak-hak minoritas dalam sebuah sistem
demokrasi, tentunya sangat banyak orang atau pihak yang merasa
dirinya terasingkan atau dengan kata lain, merasa kurang mendapat
perhatian yang lebih dari pihak yang mendominasi. Akan tetapi, di
dalam konteks demokrasi yang hampir secara umum sudah banyak
negara-negara di dunia yang menggunakannya sebagai suatu sistem
pemerintahan yang menurutnya lebih stabil dalam segala aspek yang
ada. Namun, pada kenyataannya secara faktual pihak atau golongan yang
lebih sedikit (minoritas) hanya sedikit mengalami suatu pengakuan dan
perhatian yan diperoleh dari pihak-pihak yang lebih dominan (lebih
besar). Sehingga, golongan minoritas yang kalah hanya memiliki ruang
gerak yang terbatas pada hal-hal yang kecil saja. Kemudian, hal
tersebut mau tidak mau harus mau untuk mengikuti setiap aturan dan
kesepakatan yang telah disepakati oleh golongan mayoritas. Dalam hal
ini, Alamund berpendapat bahwa :
“Suatu demokrasi yang dianut dan dijalankan oleh banyak negara yang ada, merupakan suatu cara atau langkah yang diambil oleh negara untuk melindungi hak-hak yang ada. Sehingga, apabila terjadi suatu kekalahan pada salah satu pihak (minoritas), diharapkan dapat menerima dan mau mengikuti setiap aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama”. (Wuryan, 2006: 87)
“Suatu demokrasi yang dianut dan dijalankan oleh banyak negara yang ada, merupakan suatu cara atau langkah yang diambil oleh negara untuk melindungi hak-hak yang ada. Sehingga, apabila terjadi suatu kekalahan pada salah satu pihak (minoritas), diharapkan dapat menerima dan mau mengikuti setiap aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama”. (Wuryan, 2006: 87)
3.
Kedaulatan Rakyat
Pengertian
demokrasi yang sederhana berkembang seiring perkembangan politik dan
ilmu politik sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Licoln bahwa
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Demokrasi memiliki arti penting bagi masyarakat yang
menggunakannya karena dalam sistem demokrasi ada jaminan bagi
masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberikan pengertian bahwa
rakyat dapat menentukan sendiri apa yang jadi kehendaknya, termasuk
mempengaruhi kebijakan Negara yang menyangkut kehidupan rakyat.
Karena seorang presiden mendapatkan kekuasaanya dari rakyat jadi yang
mempunyai kekuasaan tertinggi adalah rakyat maka dari itu rakyatlah
yang berdaulat. Presiden hanya merupakan pelaksana dari apa yang
telah diputuskan atau dikehemdaki oleh rakyat. Teori kedaulatan
rakyat juga diikuti oleh Immanuel Kant yaitu:
“tujuan
negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
daripada warga negaranya. Dalam pengertian kebebasan disini adalah
kebebasan dalam batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang
disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka dari itu
undang-undang adalah merupakan penjelmaan daripada kemauan atau
kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi
atau kedaulatannya”. (Soehino, 2005: 161)
4. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah
4. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah
Dalam
melakukan segala aktivitasya, negara diharuskan meminta persetujuan
terlebih dahulu kepada yang diperintahnya, bisa juga dengan
dilibatkannya yang diperintah dalam membuat suatu kebijaksanaan.
Seperti contoh dalam membuat Undang-Undang, dilibatkanlah para
wakil-wakilnya di legislatif. Ataupun dalam melakukan kegiatan
kenegaraan, itu harus mendapatkan persetujuan dari rakyat, atau
wakil-wakil rakyat. Artinya, bahwa di dalam berdemokrasi setiap suatu
keputusan yang diambil oleh pemerintah, sebenarnya memang sudah
menjadi suatu keharusan yang mesti diambil dan dilaksanakan. Hal ini
dilakukan, bertujuan agar antara pemerintah dengan para
lembaga-lembaga yang dibentuknya mengalami suatu kesesuaian yang
harmonis dalam menjalankan setiap program-program yang dicanangkan.
Dengan
kata lain, di dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah harus bisa saling berkesinambungan antara
satu sama lain. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Finley:
“Tidak
ada batas teoritis, dari kekuasaan negara, tidak ada aktivitas, tidak
ada lingkungan mengenai prilaku manusia, yang tidak dapat dicampuri
oleh negara secara sah, asalkan saja setiap keputusan itu diambil
menurut yang semestinya, dengan alasan apapun juga yang dianggap sah
oleh majelis” . (Robert: 1972: 22)
Dari
maksud kutipan yang kami ambil, bahwa setiap pemerintahan yang
berkuasa pasti mempengaruhi dan mencampuri setiap aspek dengan
mengikutsertakan atau melibatkan setiap lembaga-lembaganya, dalam
menjalankan suatu program yang nantinya akan direalisasikan di
masyarakat umum.
5. Jaminan Hak Asasi Manusia
5. Jaminan Hak Asasi Manusia
Menurut
Maurice Cranston dan R. S. Downie (Carol. 1993: 195) Hak Asasi
Manusia adalah hak asasi yang terbatas pada hak sipil dan politik dan
tidak mencakup hak ekonomi dan kesejahteraan”. Tetapi Henry Shue
dan para teoritis Inggris (Hamid 2000: 20) berpendapat bahwa “apa
saja yang dibutuhkan untuk bersubstensi atau untuk mempertahankan
hidup adalah hak asasi paling pokok”. Tentu apabila kita melihat
dari definisi hak asasi manusia menurut para pakar diatas tersebut,
ada suatu hal yang sangat kontradiktif dimana Downie mengatakan bahwa
HAM itu hanya hak sipil dan politis saja, sedangkan henry shue dan
teoritis Inggris mengatakan bahwa HAM itu mencakup apa saja yang
dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan kehidupannya.
Hak
asasi manusia dalam konsep demokrasi, demokrasi sangat menjunjung
tinggi hak asasi manusia karena rakyat sebagai manusia, rakyat juga
yang berkuasa, maka dalam pelaksanaannya negara harus menjamin
hak-hak asasi/dasar yang dimiliki oleh manusia. Seperti hak untuk
hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk berbicara, hak untuk
beragama, hak untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk terhindar dari
rasa takut, dan lain-lain.
Berbicara
mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia tentu banyak sekali
pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia. Terbukti
dari semakin meningkatnya jumlah pelanggaran yang terjadi saat ini,
seperti maraknya pembunuhan, korupsi, dan lain-lain. Ini
mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia kurang mengamalkan dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
6.
Pembatasan pemerintahan secara konstitusionil
Konstitusi
atau undang-undang dasar merupakan kristalisasi dari berbagai
pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi
itu disusun. Pihak pemerintah menjalankan roda pemerintahan harus
berdasarkan konstitusi yang berlaku dalam Negara tersebut. Pemerintah
mempunyai batasan-batasan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebagaimana konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi Negara Indonesia mengatur batasan-batasan dalam
menjalankan pemerintahan. Meskipun secara prinsip UUD 1945 menganut
demokrasi namun UUD ini tidak membentuk pagar-pagar pengaman yang
kuat untuk membatasi kekuasaan agar
demokrasi bisa terbangun.
demokrasi bisa terbangun.
7. Nilai- Nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama, dan Mufakat
Dalam
melaksanakan konsep demokrasi, manusia diharuskan memiliki
nilai-nilai toleransi yang tinggi dalam mengarungi kehidupan yang
beranekaragam ini, dan juga harus memiliki nilai-nilai pragmatisme
atau selaras dengan kenyataan, mampu bekerjasama dengan baik, dan
mencapai sesuatu dengan cara yang mufakat. Sedikit penjelasan yang
diutarakan di atas, merupakan hanya sebagian kecil saja dari sekian
banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu,
nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, serta mufakat,
merupakan unsur-unsur yang paling mendasar yang harus dimasukan
didalamnya.
8.
Persamaan didepan Hukum
Didalam
kehidupan demokrasi, atau yang sering disebut dengan negara
demokratis, hukum diciptakan oleh rakyat atau perwakilan dari rakyat
agar terjadi ketertiban, dan keamanan dalam kehidupan bernegara. Oleh
karena itu hukum harus dipatuhi oleh setiap warganegara. Dalam hal
ini, siapapun dia, atas keinginan rakyat agar hidupnya menjadi
tertib, aman, nyaman, hukum harus menjadi sesuatu yang paling tinggi
dalam masyarakat/warga negara dan tiada perbedaan dalam penegakkan
hukum. Dalam kacamata indonesia saat ini, kita masih menemukan banyak
sekali perbedaan pelayanan hukum dikehidupan sehari-hari. Seperti
contoh “pada kasus pencurian 3 bibit kakao atau coklat yang
berujung pada vonis 3 bulan penjara, sedangkan banyak para koruptor
seperti Arthalita dan Aulia Pohan, yang di vonis ringan padahal dia
mencuri uang rakyat bermilyar-milyar”. (okezone.com)
Di
Indonesia, uang memang masih sangat vokal untuk menyuarakan keputusan
ataupun sesuatu. Banyak sekali contoh yang tidak mengenakkan terkait
penegakkan hukum di Indonesia. Terlebih yang sedang gencar-gencarnya
dibicarakan sekarang yaitu markus yang sedang diburu oleh polisi,
yang memang sangat menyengsarakan dan memalukan proses penegakkan
hukum di Indonesia.
9. Proses Hukum yang Wajar
9. Proses Hukum yang Wajar
Dalam
kehidupan yang demokratis, proses hukum haruslah sewajar dan
menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi. Maksudnya dalam penyelidikan
dan penyidikan sampai dengan selesai suatu perkara, si tersangka
harus diperlakukan secara manusiawi, berlandaskan kepada kemanusiaan.
Seperti adanya asas-asas, contoh ada asas praduga tak bersalah, dan
lain-lain. Dalam proses hukum juga tidak boleh membeda-bedakan
background seseorang, apakah dia tukang becak atau presiden tetapi
ketika dalam proses hukum, status dia adalah seorang
tersangka/terdakwa.
Banyak
sekali catatan buruk negeri kita terkait dengan cara polisi
memecahkan suatu kasus. Seperti contoh banyak sekali kekerasan dalam
penyelidikan yang membuat si tersangka merasa tidak tahan dengan
siksaan yang diberikan oleh oknum polisi tersebut. Tentu ini menjadi
catatan buruk bagi bangsa Indonesia ini dalam hal penerapan proses
hukum yang wajar dan demokratis, sehingga akan mencoreng martabat
para penegak hukum.
10.
Pemilihan yang Bebas dan Jujur
Pemilihan
umum adalah salah satu tiang dalam mencapai suatu pemerintahan rakyat
atau demokrasi.
Apabila
dalam pelaksanaannya terdapat kecurangan-kecurangan, tentu itu akan
berdampak negatif terhadap jalannya demokrasi tersebut. Seperti
sabotase suara, dan lain-lain. Pentingnya menjaga agar pemilihan umum
itu berjalan dengan bebas dan jujur dalam artian tidak ada intervensi
dari pihak partai untuk memaksa seseorang yang akan memilih, karena
ketika pemilihan sudah tidak independen, maka pemilihan tersebut
sudah sangat kisruh dan tidak akan menghasilkan pemimpin-pemimpin
yang berkualitas.
11. Pluralisme Sosial, Ekonomi, dan Politik
11. Pluralisme Sosial, Ekonomi, dan Politik
Pluralisme
berasal dari kata plural, yang artinya beragam/banyak. Dalam
kehidupan demokrasi, berlandaskan pada hak asasi manusia, diwajarkan
masyarakatnya sangat beranekaragam, baik itu dalam sosial budaya,
ekonomi dan politik. Maka dari itu tidak boleh ada diskriminasi baik
itu dalam pemerintahan, maupun dalam kehidupan bermasyarakat terhadap
keberagaman tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia,
nilai-nilai pluralisme ini sudah bisa dirasakan dan masyarakat pun
sudah mengerti dan toleran terhadap perbedaan yang ada.
Terbukti
dahulu pada zaman sukarno, dimana para etnis china dilarang hidup di
bumi pertiwi ini, karena adanya PP no 23 tahun 1964 mengenai larangan
etnis China yang bertempat tinggal di Indonesia
(www.kapanlagi.co.id). Padahal mereka juga adalah manusia yang
mempunyai hak hidup yang sama. Tetapi pada masa Gusdur, PP tersebut
di cabut atau tidak diberlakukan kembali, untuk menghormati hak asasi
manusia.
2.2
Penegakkan demokrasi di Indonesia
Apabila
kita melihat kepada pembahasan diatas, sangat jelas bahwa Indonesia
belum secara penuh mengamalkan soko guru yang diatas. Dengan
banyaknya pelanggaran dan belum ditegakkannya secara penuh apa yang
menjadi pilar demokrasi tersebut, maka belum pantas jika indonesia
disebut sebagai negara demokratis, mungkin akan lebih pantas apabila
Indonesia disebut sebagai negara yang berjuang menjadi negara yang
demokratis.
Memang
apabila kita lihat bahwa sampai saat ini belum ada satu negara pun
yang benar-benar menerapkan demokrasi dalam kehidupannya, mereka yang
kita anggap sudah demokratis pun apabila kita tinjau dan telaah
kembali, ternyata hanya sedikit ataupun hanya mendekati negara yang
demokratis, sungguh berat memang suatu konsep negara demokrasi itu,
menginginkan suatu konsep yang benar-benar baik untuk diterapkan
berarti menginginkan suatu yang harus secara benar untuk
diperjuangkan.
Nama
: Ari Adiansyah
Kelas
: XI TKR 3
NO
Absen : 06
Artikel
MENGANALISIS PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA SEJAK REVOLUSI, ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
2.1.
Sejarah Demokrasi di Indonesia
Sejak
Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17
Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers)
melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah
menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya
disebut �NKRI�) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana
kedaulatan (kekuasaan tertinggi)� berada ditangan Rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang
menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).
Sejalan
dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia
mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga
Demokrasi Liberal), yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang
tentang instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris
berujung pada konflik ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli
1959.
Guna
mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut di
atas, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, dan
sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim
sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang
mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara.
Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya� Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.
Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya� Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.
Demokrasi
Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan
dengan model-model demokrasi lainnya yang pernah diterapkan
sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun ditutup dengan
cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan
Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan
kenegaraan yang tidak stabil dan� krisis disegala aspeknya.
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini dinamakan saja sebagai �Demokrasi Reformasi�, karena memang belum ada kesepakatan mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini, nampaknya� belum menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-lembaga negara yang utama, yaitu� lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini dinamakan saja sebagai �Demokrasi Reformasi�, karena memang belum ada kesepakatan mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini, nampaknya� belum menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-lembaga negara yang utama, yaitu� lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.
2.2. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan
demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari Pelaksanaan Demokrasi�yang
pernah ada di Indonesiai ini. Pelaksanaan demokrasi di indonesia
dapat dibagi menjadi beberapa periodesasi antara lain :
1.
Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 – 1950 ).
Tahun
1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin
kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum
berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi
fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan
hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi
sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan
dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari
kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah
mengeluarkan :
• Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
• Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
• Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer
2. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama
a. Masa Demokrasi Liberal 1950 � 1959
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa� demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik.
Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
• Dominannya partai politik
• Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
• Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
• Bubarkan konstituante
• Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
• Pembentukan MPRS dan DPAS
b. Masa Demokrasi Terpimpin 1959 – 1966
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:
1. Dominasi Presiden
2. Terbatasnya peran partai politik
3. Berkembangnya pengaruh PKI
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
1. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan
2. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
3. Jaminan HAM lemah
4. Terjadi sentralisasi kekuasaan
5. Terbatasnya peranan pers
6. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)
Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI yang menjadi tanda akhir dari pemerintahan Orde Lama.
3. Pelaksanaan demokrasi Orde Baru 1966 – 1998
Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
1. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
2. Rekrutmen politik yang tertutup
3. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
4. Pengakuan HAM yang terbatas
5. Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya Orde Baru:
1. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
2. Terjadinya krisis politik
3. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
4. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden.
4. Pelaksanaan Demokrasi Reformasi {1998 � Sekarang).
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
1. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
3. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
4. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
5. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.
2.3 Perbedaan – Perbedaan Demokrasi
1. Berkenaan dengan Kedaulatan Rakyat.
a. Demokrasi Liberal.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dilaksanakan oleh DPR (Parlemen). Dan DPR membentuk serta memberhentikan Pemerintah/Eksekutif (Kabinet).
b. Demokrasi Terpimpin.
Meskipun secara normatif konstitusional ditetapkan bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat (MPR), namun secara praktis justru kedaulatan sepenuhnya berada ditangan Presiden. Dan Presiden membentuk MPR(S) dan DPR-GR berdasarkan Keputusan Presiden
c.Demokrasi Pancasila (Orba).
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dijalankan� oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), baru kemudian MPR membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, DPR, MA, Bepeka dsb.)
d. Demokrasi Reformasi.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya tetap berada ditangan rakyat, dan rakyat secara langsung membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dsb.)
2. Berkenaan dengan Pembagian Kekuasaan
a. Demokrasi Liberal
Kekuasaan DPR (Legislatif) sangat kuat dibandingkan dengan kekuasaan Pemerintah/Kabinet (Eksekutif), bahkan DPR dapat memberhentikan Pemerintah/Kabinet. Sementara Presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara saja (Simbol Negara saja).
b. Demokrasi Terpimpin.
Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat kuat (dominan) dibandingkan dengan kekuasaan DPR (Legislatif), bahkan Presiden dapat membubarkan DPR serta mengangkat anggota-anggota DPR (GR).
Jabatan Presiden ditetapkan untuk masa seumur hidup, sehingga tidak bisa diberhentikan oleh MPRS.
c. Demokrasi Pancasila (Orba)
Meskipun secara normatif konstitusional, ditetapkan :
1).� Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) maupun Kepala Negara lebih kuat dibandingkan kekuasaan DPR (Legislatif).
2).� Kecuali dalam hal Anggaran Belanja Negara, maka kekuasaan Presiden dibidang legislasi (pembentukan undang-undang) lebih kuat dibanding-kan kekuasaan DPR (Legislatif).
Nama
: Dedi Irawan
Kelas
: XI TKR 3
NO Absen
: 11
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu
pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar
satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.
Berawal
dari kemenangan Negara-negara Sekutu (Eropah Barat dan Amerika
Serikat) terhadap Negara-negara Axis (Jerman, Italia & Jepang)
pada Perang Dunia II (1945), dan disusul kemudian dengan keruntuhan
Uni Soviet yang berlandasan paham Komunisme di akhir Abad XX , maka
paham Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropah Barat dan
Amerika Utara menjadi paham yang mendominasi tata kehidupan umat
manusia di dunia dewasa ini.
Indonesia
adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, untuk di
Asia Tenggara Indonesia adalah negara yang paling terbaik menjalankan
demokrasinya, mungkin kita bisa merasa bangga dengan keadaan
itu.Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan
hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan
di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang
saling berbeda satu dengan lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
Perjalanan
sejarah sistem politik dan penegakan hukum Indonesia selama ini
menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata konstitusi dalam wujud UUD
tidak dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan sistem politik yang
demokratis maupun penegakan hukum.
UUD
1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan
(1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru
(1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Semuanya ternyata
menunjukkan corak dan karakter kepemerintahan yang berbeda satu
periode dengan periode lainnya.
Di
masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam UUD (1945, RIS dan 1950)
namun kehidupan sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat
ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali
berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun
yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960).
Buktinya, terjadi pembubaran partai politik yang tidak sejalan dengan
keinginan pemerintah (yaitu, Masyumi dan PSI), media massa yang
kritis dibredel, penangkapan dan penawanan lawan politik pemerintah
tanpa proses hukum termasuk para pendiri partai mantan-mantan Perdana
Menteri, mantan-mantan menteri, pemimpin ormas juga ulama. Sehingga
hukum didominasi penguasa tunggal di masa itu.
Masa
itu kemudian beralih kepada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1966.
Awal permulaan masa ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem
demokrasi dan penegakan hukum setelah rakyat bersama mahasiswa dan
pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang
kesewenang-wenagan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan
pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan
“kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”.
Suasana
harmonis itu ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU
No. 15 dan 16 Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan
Kedudukan Lembaga Negara. Dari sini mulai nampak keinginan politik
elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih kemenganan mutlak
pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970
ternyata baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha
penggalangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan waktu
cukup lama.
Akhirnya
telah tercatat dalam sejarah, dari pemilu ke pemilu, kemenagan mutlak
diraih oleh GOLKAR sebagai mesin politik pemerintah Orde Baru yang
dikawal oleh ABRI. Seluruh Lembaga Negara, baik tinggi maupun
tertinggi telah dikuasai, dari Presiden, Panglima Tertinggi sampai ke
lurah dan kepala desa, bahkan sampai RT, RW.
Masa
sekarang, Era Reformasi yang diawali dengan perubahan mendadak dari
sistem politik otoriter ke sistem demokrasi. Saat pemerintahan
transisi di bawah presiden BJ Habibie, sendi-sendi demokrasi berubah
180 derajat. Kebebasan membentuk partai politik, Lembaga-lembaga
perwakilan bebas berbicara, Pers yang sebelumnya tercekam oleh
ancaman pencabutan SIUP mendadak sontak dibebaskan tanpa SIUP. Rakyat
bebas menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi.
Akibat
kebebasan yang begitu tiba-tiba terjadilah euphoria politik di
lingkungan elit politik baru dan lama. Terjadi kebebasan yang
hampir-hampir berakibat tindakan-tindakan anarkis di kalangan
masyarakat. Demokrasi tanpa persiapan dengan perangkat hukum yang
melandasinya. Pengamat ada yang menyebut, di era Reformasi ini,
sepertinya yang nampak masyarakat, sedangkan pemerintah tenggelam.
Adapun di zaman Orde Baru yang tampak pemerintah sedangkan rakyatnya
tenggelam.
Sistem
Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 sebelum
Diamandemen.
Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok sistem pemerintahan. Yaitu :
Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok sistem pemerintahan. Yaitu :
• Indonesia adalah
Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)
• Sistem Konstitusional.
• Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
• Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.
• Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
• Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.
• Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
• Sistem Konstitusional.
• Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
• Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.
• Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
• Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.
• Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh
kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945
menganut sistem pemerintahan presidensial.Sistem pemerintahan ini
dijalankan semasa Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden
Suharto.Ciri dari sistem pemerintahan presidensial ini adalah adanya
kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.
Pada saat sistem
pemerintahan ini, kekuasaan presiden berdasar UUD 1945 adalah sebagai
berikut :
• Pemegang kekuasaan legislative.
• Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.
• Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.
• Panglima tertinggi dalam kemiliteran.
• Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan.
• Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.
• Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
• Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.
• Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan.
• Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.
• Pemegang kekuasaan legislative.
• Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.
• Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.
• Panglima tertinggi dalam kemiliteran.
• Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan.
• Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.
• Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
• Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.
• Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan.
• Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.
BAB III
KESIMPULAN
A.Dampak negatif
dari sistem presidensil yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia
Dampak negatif yang
terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini
adalah sebagai berikut :
• Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.
• Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.
• Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.
• Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden.
• Menciptakan perilaku KKN.
• Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
• Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.
B.Dampak Positif
dari sistem Presidensil yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia
Dampak positif yang
terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini
adalah sebagai berikut :
• Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
• Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
• Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
• Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.
0 comments:
Post a Comment